THE SECRET OF LOVE
“Jika engkau merasakan cinta pada seseorang, katakanlah. Berani. Jujur 
dan jangan ragu. Tapi, jika tidak, ucapkanlah dengan tegas bahwa engkau 
tak menyukainya.”
Kata-kata yang selalu terngiang dan telah terpatri di kepalaku sebelum 
aku bertemu dengan gadis ini. Gadis manis, berwajah mungil dan berlesung
 pipi. Gadis elok yang telah mencuri hatiku dan menyimpannya, hingga tak
 dapat aku temukan pecahan hatiku. Gadis yang mampu membuatku tak mampu 
berkata-kata. gadis yang mampu membuatku tak dapat mengingat kata-kata 
yang selama ini telah bersarang di kepalaku. Aku tau, mungkin aku sudah 
gila atau apalah itu. Aku tak ngerti dan tak paham dengan apa yang 
sedang kualami sekarang. Yang ku tau hanya aku ingin bersama, 
menggenggam tangannya dan melindunginya. Aku ingin menjadi seseorang 
yang mampu menjadi penopang hidupnya. Pengobat rasa sedihnya.
Gadis manisku. Aku ngerasa kamu hanya impian yang tak dapat kugapai. Aku
 ngerasa tangan ini tidak sanggup untuk meraih tanganmu. Seandainya 
engkau tau, aku disini menunggumu, menantimu untuk mengambil setengah hatiku yang telah kau curi. Aku ingin kau ada disini, menemaniku. Hidup bersamaku di sisa umurku. 
Kututup diaryku, sambil terus membayangkan gadis manisku. Kulihat waktu 
telah larut malam. Beranjak ku menuju tempat tidur. Aku ingin istirahat 
dan memimpikan gadis itu. Walau hanya mimpi, aku ingin bertemu gadis itu
 lagi. Mengobrol dan melihat senyumnya yang mampu membuatku terpana. 
Kupejamkan mata sambil terus dan terus membayangkan wajah gadis manisku.
 Hingga lelap dan pulas.
* * *
“Satria….. cepat bangun. Kamu tak pergi melukis hari ini????”
Samar-samar kudengar suara mama yang memanggilku. Dengan berat dan 
perlahan kubuka mata yang terpejam ini. Kucari-cari jam yang biasa 
kuletakkan di meja samping tempat tidurku. Betapa kagetnya aku ketika 
jarum jam telah menunjukkan pukul 09.00, yang artinya aku telah 
terlambat setengah jam untuk memulai aktifitas rutinku. Membantu orang 
yang ingin memiliki potret diri. Segera aku mempersiapkan diri dan 
berangkat menuju tempat yang biasa kugunakan untuk melukis.
Hari masih pukul 09.00, namun sinar matahari sangat menyengat. Kususuri 
jalan yang ramai itu dengan peralatan lukis yang tersampir di pundakku 
dan sebuah lamunan di sepanjang jalan.
Ya, inilah aku.  Satria seorang pelukis jalanan. Seorang pelukis yang 
kesehariannya hanya untuk melukis orang-orang tanpa dibayar. Kadang aku 
mendengar orang-orang di sekitarku berkata, untuk apa aku melukis tanpa 
dibayar, hanya buang-buang waktu aja. Tapi aku senang dan menikmati 
kehidupanku ini, karna aku sadar hidupku tinggal sebentar lagi. Aku 
ingin hidupku berguna untuk orang lain. Walaupun aku sadar aku lemah, 
namun ada sesuatu yang mampu membuatku semangat menjalani kehidupanku 
ini.
“Satria.”
Inilah seseorang yang mampu membangkitkan semangatku untuk hidup. 
Seseorang yang juga mampu menggetarkan hatiku. Tara. Dialah gadis 
manisku yang hanya menjadi impian dalam hidupku. Tara adalah sahabat 
kecilku. Dia yang selalu menghibur dan memberikan semangat hidupku. 
Sebagian masa kecilku, kuhabiskan hanya untuk bersamanya. Aku tidak 
pernah menyangka, perasaan yang awalnya hanya sebatas sahabat berkembang
 menjadi rasa cinta yang sangat dalam. Tara tidak pernah tahu perasaanku
 ini. Aku berusaha menyimpannya rapat. Aku tidak pernah ingin Tara tahu 
rasa cinta yang tumbuh  dalam hati. Aku tak ingin hubungan persahabatan 
ini hancur hanya karna cinta. Aku tak pernah ingin jauh darinya, karna 
hanya dia penopang hidupku.
Kulihat Tara berjalan menghampiriku sambil melambaikan tangannya yang 
mungil. Di sampingnya berjalan pula seorang pria yang menggandeng 
tangannya. Donny. Pria yang berarti dan berharga baginya. Pria yang juga
 aku kenal sebagai salah satu teman satu jurusannya. Dia pria yang baik 
dan menyayanginya sepenuh hati, aku senang Tara mendapat pria seperti 
dia.
“Hai…., Sat. Boleh tidak kami minta kamu buat melukis kami berdua????? Aku suka sekali sama lukisanmu.”, rengek Tara.
“Bener Sat. Aku dengar kamu jago banget melukis. Pasti keren sekali ntar hasilnya.”, kata Donny menambahkan.  
“Kalian itu tak usah memujiku seperti itu, nanti aku bisa jadi besar kepala.”, jawabku. 
“Baiklah. Aku akan lukis kalian sebagai hadiah dariku kar’na kalian baru
 jadian. Ayo duduk di kursi itu. Aku akan mulai melukis.”, lanjutku.
Mereka pun menuju kursi yang aku sediakan. Rasanya ingin menangis dan 
berteriak sekencang-kencangnya melihat gadis manisku dipeluk pria lain. 
Ingin sekali aku merebutnya dari tangan pria itu dan memeluknya. Namun, 
segera kutepis semua pikiran itu jauh-jauh dan mulai melukis. Pertama 
kalinya aku merasa sakit dan perih sekali saat melukis, biasanya tak 
pernah sekalipun rasa ini melingkupiku saat aku melukis. Biasanya aku 
melukis dengan gembira dan senyuman. Karna aku cinta melukis. Akhirnya 
lukisanku selesai.
“Gimana lukisannya?????”, Tanya Tara sambil menghampiriku.
“Bagus sekali. Kamu selalu cantik sekali walau hanya dalam lukisan.”, gumamku.
“Apa Sat?? kau bicara apa barusan??? Aku tak dengar.”, tanyanya.
“Kalian pasangan yang serasi.”, jawabku sambil tersenyum pada mereka.
“Terima kasih.”, ujar mereka berbarengan.
* * *
Sejak hari itu, aku tak pernah bertemu Tara. Dia selalu sibuk dengan 
pacar barunya. Aku tak kan bisa marah, kar’na setiap kali aku lihat 
senyumnya saat bersama Donny, aku akan bahagia. Aku telah memutuskan. 
Aku ingin menjauh darinya. Aku ingin menjaga hatiku. Setiap kali aku 
melihatnya dari jendela kamarku, aku selalu ingin memeluknya sambil 
mengucapkan betapa besar rasa cintaku untuknya. Aku harus pergi dari 
sini. Aku akan menuju tempat dimana aku tak bisa bertemu lagi dengannya.
 Aku ingin lari dengan kenyataan ini. Aku akan membawa penyakitku 
bersamaku.
1 TAHUN KEMUDIAN
Mentari sangat hangat, seperti hatiku sekarang. Kicau burung yang indah 
juga telah membangkitkan semangatku. Ya. Disinilah aku. Di tempat yang 
paling indah yang pernah aku kunjungi. Tempat yang mampu mengembalikan 
semua semangat hidupku. Pulau Lombok. Pulau yang memiliki keindahan alam
 yang indah dengan pantai yang terbentang luas. Tinggal selama 1 tahun 
disini, membuatku merasa semua kepenatan, kesedihan dan keterpurukan 
hilang diterpa ombak. 
“Den Satria……. Ada telpon dari teman Anda.”, teriak Mang Ujang. Seorang pria tua yang membantuku sejak aku tinggal disini.
“Dari siapa Mang?”, tanyaku.
“Kalau tak salah, dari  emm….. Tara. Oiya, dari Non Tara. Katanya teman Anda di Jakarta.”, jawabnya.
Aku kaget. Hancur sudah pertahanan hatiku saat ini. Gadis manis yang 
kuputuskan untuk kulupakan dengan tinggal disini meneleponku. Aku terima
 gagang telepon yang Mang Ujang sodorkan padaku. Aku takut. Aku takut 
banget.
“Halo.”, sapa seseorang di seberang sana.
Aku tak tau mesti gimana. Aku ingin membuang telepon ini, tapi aku juga 
rindu pada pemilik suara ini. Akhirnya aku tersadar bahwa seseorang di 
seberang sana sedang menunggu jawaban dariku.
“Halo, Tara.”, jawabku.
“Ha….. benar ini kau Satria. Satria temanku. Satria pelukis jalanan.”, ujarnya dengan semangat.
“Benar. Selama kau masih punya satu nama Satria dalam hidupmu selama aku tinggal jauh darimu.”
“Aku rindu kau, Sat.” ujarnya lagi.
Betapa kagetnya aku. Ternyata gadis manisku merindukanku. Saat ini 
rasanya aku sedang menembus awan dengan seekor burung rajawali yang kuat
 dan kekar. Jantungku seakan meloncat, hingga aku tak dapat menahannya.
“Aku juga rindu kau, Tara. Sangat rindu.”, jawabku.
“Kapan kau kembali kesini Sat??? Aku membutuhkanmu. Aku sendirian disini. Aku ingin kau ada disini.”, ujarnya sambil terisak.
“Kau bohong, Tara. Kau telah memiliki seseorang yang selalu ada dan 
setia menjagamu. Bukankah selalu ada Dony disampingmu??, jawabku. 
“(menangis). Dony sakit, Sat. Sekarang dia lagi bertahan untuk hidup. 
Dia membutuhkan donor jantung. Aku takut, Sat. Hanya kamu yang bisa 
menyemangatiku saat ini. Aku butuh kamu.”
Aku kaget luar biasa. Aku tak bisa membayangkan gadis manisku terpuruk 
saat ini. Bagaimana dia bisa melanjutkan hidupnya tanpa orang yang dia 
sayang. Tiba-tiba aku merasa kepalaku mulai sakit yang luar biasa. Sakit
 yang benar-benar menyiksa. Gagang telpon pun terlepas dari genggaman 
tanganku. Aku merasa tubuhku mulai terkulai dengan lemah. Samar-samar 
aku masih mendengar suara Tara memanggilku di seberang sana.    
KEESOKAN HARINYA
Aku bingung. Saat ku buka mata, aku hanya melihat sebuah ruangan yang 
semua dindingnya tertutup kain putih. Mataku mulai mencari-cari ke 
sudut-sudut ruangan. Kupaksakan untuk mengucapkan kata “mama”. Tapi yang
 keluar hanya sebuah gumaman yang tak jelas. Lelah dan letih memanggil, 
aku pun diam dan hanya menunggu.
5 menit kemudian, aku mendengar suara pintu yang berderit. Aku melihat 
seorang suster yang mulai berjalan mendekatiku. Dia kaget melihatku 
telah sadar. Kupaksakan untuk mengeluarkan suara.
“Mama.”, ujarku dengan lirih.
“Anda ingin bertemu dengan Mama anda??”, ucap suster itu.
“Mama.”
Suster itupun keluar ruangan. Sesaat setelahnya aku melihat seorang 
wanita yang sudah paruh baya sedang menangis sambil berjalan 
mendekatiku.
“Mama.”
“Satria. Kau tidak apa-apa, Nak?”
“Aku rindu Mama.”
“Aku juga rindu kau.”
“Ma, jangan menangis. Aku sedih melihat Mama seperti ini.”
Kulihat Mamaku mulai membersihkan air mata di kedua matanya. Tampak 
kesedihan dan ketegaran di matanya. Sakit sekali. Aku merasa lebih sakit
 melihat Mamaku seperti ini daripada rasa sakit akibat penyakitku ini. 
Aku mulai terisak. Aku ingat semua pengorbanan yang telah Mama lakukan 
untukku. Pengorbanan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dua orang. 
Aku ingat ketika Mama dengan sabar merawatku ketika kecil. Aku ingat 
ketika Mama menyemangatiku. Aku ingin selalu bersamamu Mama. Aku tidak 
ingin berpisah darimu. Aku sayang kamu, Mama. Maafkan aku Ma. Aku telah 
merahasiakan penyakitku ini darimu. Aku ingin selalu melihatmu 
tersenyum. Senyumanmu adalah obat yang paling aku harapkan di dunia ini.
 Maafkan aku Ma. Aku harus pergi meninggalkanmu. 
“Satria. Kenapa kau berbuat begini pada Mama, nak. Apa kau tidak 
menyayangi Mama lagi? Kenapa kau tidak memberi tahu Mama tentang 
penyakitmu?”
Aku kaget. 
“Dari mana Mama tahu hal itu?”
“Jadi semua itu benar, nak? Kau benar-benar sakit selama ini? Dan selama ini pula kau tidak memberitahu Mama?”
“Ma, maafkan aku. Aku tak ingin melihat Mama sedih. Aku sayang banget sama Mama.”
Tiba-tiba, aku merasakan sakit yang luar biasa lagi. Dan rasa sakit ini 
lebih menyakitkan daripada waktu itu. Aku berteriak kesakitan. Mama 
kaget dan segera berteriak memanggil Dokter. Aku masih mendengar suara 
tangisan Mama. Tangisan yang pilu. Di tengah rasa sakitku, aku ingat 
Tara. Aku rindu dia. Aku ingin bertemu dengannya. 
“Ma.”
“Apa, nak? Apa yang kau rasakan saat ini?”
“Ma. Maukah Mama melakukan sesuatu untukku. Tolong berikan jantungku 
untuk Dony. Dia kekasih Tara, Ma. Walaupun aku mati, aku ingin tetap 
bisa bersamanya. Tolong katakan juga padanya kalau aku sangat mencintai 
dia.”
“Tidak, Sat. Kau tidak akan mati dan tidak akan pernah mati. Kau tidak 
akan meninggalkan Mama sendirian kan? Mama tak bisa hidup sendiri, Sat. 
Mama butuh kau disamping Mama.”
“Ma. Tolong aku. Aku ingin bisa berguna walaupun aku sudah mati. Apa Mama ingin aku tidak bahagia disana?”
“Sat. Kenapa kau berkata begitu. Mam tak tega mendengarnya. Tapi kalau 
itu keinginanmu, baiklah, Mama akan mengabulkan permohonanmu.”
“Terima kasih Ma. Aku sayang Mama.”
Pelan-pelan kututup mataku. Kurasakan hatiku mulai sejuk. Aku merasa 
terbang dengan damai, bahagia dan ketenangan yang belum pernah aku 
rasakan sebelumnya. Aku terbang tinggi dan semakin tinggi. Aku melihat 
keindahan yang sangat luar biasa. Keindahan yang akan kekal selalu. 
Keindahan yang abadi.

Komentar
Posting Komentar