Cinta dan Senja

Nava berlari kecil menjauhi pantai, lalu duduk di pesisir tempat air laut tak dapat menjangkau kakinya. Pukul 4 sore, senja sudah hampir matang. Ia merasa lebih baik menunggu senja sambil duduk-duduk santai, lagi pula ia sudah terlalu lelah berlarian ke sana kemari bersama Raka.

Nava menghirup napas dalam-dalam, memperhatikan Raka yang masih saja asyik bermain ombak di tepi pantai. Raka yang merasa diperhatikan Nava menghentikan acara lari-lariannya dan dengan santai berjalan kearah Nava.

“Sudah lelahkah?”, tanya Nava saat Raka sudah duduk di sebelahnya.

“Belum. Aku hanya minder”, jawab Raka.

“Minder kenapa?”, Nava mengernyitkan dahinya.

“Ada perempuan jelita yang memandangiku sambil tersenyum-senyum saat aku sedang asyik bercengkrama dengan ombak di sana”, Raka menunjuk ke pantai. “Seketika kakiku lumpuh dan dadaku berdebar-debar. Entah mengapa. Minder, mungkin”, lanjutnya sambil berpura-pura menggaruk-garuk kepala.

“Ah kau ini!”, Nava tersipu sambil memukul pelan lengan Raka. Yang dipukul hanya tertawa.

Nava merapikan poni Raka yang tertiup angin

“Kau berbahagiakah denganku?”, tanya Nava.

“Tentu”

“Akupun”

“Mengapa kau bertanya seperti itu?”, Raka menatap Nava ingin tahu.

“Entahlah. Aku hanya kepikiran”, jawab Nava sambil mengedikkan bahunya.

“Hem”

“Lucu sekali ya?”, tanya Nava lagi.

“Apanya yang lucu?”

“Kita”

“Hm?”, kali ini Raka yang mengernyitkan dahinya.

Nava menghela napas. “Kita dulu pernah sama-sama begitu bahagia, lalu jatuh terluka, kemudian bertemu dan saling jatuh cinta. Sekarang kita sudah berbahagia kembali. Kau dan aku. Sudah melupakan masa lalu..”, ucapnya sambil memandang senja yang mulai memerah di lautan.

“Lantas?”, tanya Raka.

“Bukankah itu hal yang lucu? Betapa mudahnya cinta membolak-balikkan perasaan kita”

“Tak ada yang lucu, Nava. Semesta memang telah menghendakinya”

“Lalu.. Jika itu adalah sebuah siklus, tidakkah aku dan kau perlu bersiap-siap?”, tanya Nava.

“Untuk apa?”, Raka menatap Nava heran.

“Untuk terluka lagi”

“Maksudmu?”

“Ya kita bersiap untuk terluka lagi. Supaya jika salah satu di antara kita pergi, kita tidak akan terlalu kesulitan untuk berdiri sendiri dan berjalan lagi”, ucap Nava sambil memainkan pasir di kakinya.

Hening. Hanya suara ombak yang mengisi kekosongan percakapan mereka. Raka dan Nava memandang jauh ke lautan, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Lalu Raka menoleh, memperhatikan wajah jelita perempuannya yang sedang menerawang.

“Kau tahu? Cinta bukan tentang persiapan ditinggalkan.”, Raka buka suara.

Nava menoleh, memperhatikan laki-lakinya.

“Cinta itu, nona.. tentang memanfaatkan waktu untuk berbahagia saat kau merasa bahagia.”

Nava mengerjap-ngerjapkan matanya. Raka sangat menyukai cara Nava mengerjapkan matanya jika ia merasa penasaran, perempuannya itu tampak lucu sekali.

“Nava Munira Agisni, dengar.. Tak perlu engkau memikirkan kesedihan, sebab cepat atau lambat ia pasti akan datang. Kebahagiaan itu letaknya sangat dekat dengan kesedihan asal kau mau membuka pintu hatimu untuk ikhlas menerima apa-apa yang diberikan. Kesedihan itu sendiri adalah salah satu hal yang patut disyukuri keberadaannya, sebab ia yang membuat bahagia terasa membahagiakan.”, ujar Raka sambil memegangi kedua pipi Nava.

Nava memalingkan wajahnya, kembali menatap senja di lautan.

“Aku sebal padamu”, katanya kemudian.

“Loh kenapa?”, tanya Raka panik.

“Kau mulai mengguruiku lagi”, ucap Nava sambil mengerucutkan bibirnya dan memandangi kakinya.

“Aku tak mengguruimu, aku hanya mengatakan hal-hal yang benar”, Raka membela diri.

“Itu dia masalahnya, kau selalu mengatakan hal-hal yang benar hingga aku kehilangan alasan untuk men..”, tiba-tiba Raka menarik kepala Nava dan mengecup bibirnya lama. Tak mengizinkan Nava menyelesaikan kalimatnya.

Ia melepas kecupannya lalu tertawa dan berlari ke pantai, meninggalkan Nava yang masih terlalu terkejut untuk melakukan sesuatu.

“Raka.. Rakaaaa! Kemari! Biar kucubit perutmu! Raka, jangan lari!”, Nava berlari mengejar Raka.

“Tangkap aku kalau kau bisa, jelek!”, ucap Raka sambil berlari kecil dan menjulurkan lidahnya.

“Menyebalkaaaaannnn…”, teriak Nava sambil terus berlari mengejar Raka.

Setelah ia berhasil menangkap lengan Raka, segera ia menyerang perut Raka dengan cubitan-cubitan kecil. Yang dicubit tertawa sambil mengaduh, berusaha menggenggam kedua tangan Nava.

“Sudah, nona. Sudah.. Ampun. Sakit sekali perutku”, pintanya sambil sesekali mengusap perutnya.

Nava menghentikan serangannya dan mengatur napasnya yang terengah-engah.

“Sakit sekali cubitanmu, nona. Kau tak tahu, kan?”, Raka menggerutu sambil mengerucutkan bibirnya.

“Ya siapa suruh kau nakal begitu”, sahut Nava judes.

Raka tertawa melihat Nava yang terengah-engah.

“Lihat, senja sempurna merah. Ayo kita sambut!”,ajak Raka sambil menarik tangan Nava.

“Kau masih kuat bermain kan, nona?”, tanya Raka sambil tersenyum. Nava mengangguk. Mereka lalu berjalan menyusuri tepi pantai sambil memandangi senja dan bermain ombak.

Ps: Tahukah kau apa yang diucapkan Nava dalam hati saat Raka menggenggam tangannya?

“Aku beruntung dapat menyaksikan senja dengan tanganmu di genggaman. Aku beruntung membiarkan hatiku memilih sendiri kebahagiaannya. Aku beruntung..  mencintai dan dicintai olehmu”.


Komentar