Nada bicaramu datar. Kau hampir tak pernah bertanya, lebih banyak 
melempar pernyataan. “Pulang sebelum jam 9, ya.” Ujarmu tegas. “Jangan 
sampai kemalaman.” Hanya sekejap dirimu melirikku dari balik kacamata 
dan buku yang sedang kau baca.
Makna “terlalu malam” dalam kamusmu sebenarnya masih bisa 
diperdebatkan. Aku, misalnya, tak menganggap pulang pukul 22.00 sebagai 
suatu ketidakpatutan. Menurutku yang congak itu, keamananku toh terjamin
 karena ada yang mengantar pulang. Namun di matamu, justru karena itu 
aku harus kembali secepatnya. Soal menjaga putrimu ini, tak ada anak 
lelaki yang bisa dirimu percaya.
Aku masih bocah SMA waktu itu. Tentu saja kata-katamu tak kudengarkan
 dengan benar-benar. Aku pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul 11 
malam. Kau sudah menunggu di teras rumah, di depan dada menyilangkan 
tangan. Hatiku luruh melihatmu menghabisi pacarku yang juga masih bocah 
dengan kalimat penuh ceramah.
“Kami tadi cuma ngobrol, kok!” kataku membelanya. Malam itupun sebenarnya kami tidak pergi berdua, ada teman-teman kami yang lainnya.
Waktu memang jadi tidak terasa karena kami semua bersilat lidah begitu asyiknya.
Tapi tentu kau tidak peduli. Esoknya aku dihukum tak boleh 
sering-sering main lagi. Pacarku selalu mendapat ceramah panjang darimu,
 bahkan berbulan-bulan setelah malam itu.
Sekarang aku sudah jauh lebih dewasa. Umur sudah mantap menginjak 
kepala dua. Namun saat meminta izin untuk pergi ke luar rumah di malam 
hari, kau masih meresponnya dengan kalimat yang sama.
“Jangan pulang malam-malam,” katamu. Aku mengangguk, sebelum mengambil kunci motor dan menutup pintu.
Meski tak pernah langsung kau utarakan, aku paham. Kau selalu ingin menjagaku dengan segenap kekuatan
Dalam beberapa hal kita memang berbeda pandangan. Aku seseorang yang 
lebih bebas dan tak mempermasalahkan; kau lebih banyak keberatan dan 
melarang. Apalagi kalau sudah tentang pacaran. Bagimu, semua laki-laki 
yang ingin mengajakku kencan harus menampakkan diri di rumah dulu untuk 
meminta izinmu. Masalahnya, izin itu begitu jarang kau berikan. Dirimu 
lebih sering memanfaatkan pertemuan itu untuk memarahi si anak laki-laki
 dan membuatnya tak berani lagi untuk menampakkan diri. Gara-gara ini, 
saat aku SMA kita berdua sering berselisih. Aku pun mulai menjaga jarak 
denganmu — sikapmu yang selalu ingin mengawasiku justru membuatku merasa
 risih.
Semakin aku bertambah dewasa, semakin aku tahu niatmu hanyalah 
menjaga. Mungkin karena aku semakin mengerti bahwa bukan dunia yang 
mudah di luar sana. Caramu menunjukkan perhatian memang tak selalu 
menyenangkan. Namun karenamu, hingga kini aku selalu hati-hati — kau 
berhasil membuatku selalu berpikir dua kali sebelum memutuskan 
mencintai.
Aku tahu kau sedang berjuang mengikhlaskan. Menyaksikanku tumbuh dewasa mungkin membuatmu merasa sedikit kehilangan
Saat aku kecil dulu, kita banyak bermain berdua dan bercerita. Kau 
menggendongku, sesekali mengangkatku ke udara. Aku selalu tertawa 
dibuatnya.
Kau pun bukan tipe Ayah yang gengsi mengasuh putrinya ketika sang Ibu
 tak ada. Di depan teman-temanmu, kau tak segan menyuapiku. Kadang kau 
jugalah yang mengganti popokku. Tugas untuk merawatku memang kau bagi 
berdua dengan Ibu. Tak ada yang salah dengan ini di matamu.
Namun semakin aku dewasa, semakin kau memposisikan diri sebagai 
penjaga yang tak banyak bicara. Sosokmu yang hangat berganti menjadi 
tegas. Kau percaya, aku tak boleh terlalu bebas.
Mungkin kau hanya takut aku salah pergaulan. Mungkin kau takut aku salah memilih teman.
Mungkin kau terkejut menyadari aku kini sudah dewasa. Mungkin kau merasa kehilangan, dan membuatku menurut padamu adalah peliput lara.
Tak perlu takut aku melupakanmu. Sampai kapanpun, kau tetap lelakiku yang nomor satuku
Malam ini aku baru saja pulang dari lembur menyelesaikan 
pekerjaan. Pukul 11 malam. Ternyata kau beberapa kali mencoba 
meneleponku, namun tak kudengar. Ada dua pesan darimu yang baru kubuka 
sekarang.
“Mbak, udah di mana?”
“Mbak, ini udah malam. Cepat pulang.”
Ketika akhirnya aku sampai, pintu rumah sedikit terbuka dan televisi 
masih menyala. Kotak televisi itu menontonmu tertidur di atas sofa. 
Hanya setengah badanmu yang tertutup selimut. Tangan kananmu memegang 
remote TV dan tangan kirimu menyangklungkan ponsel ke depan dada.
Kau tertidur selagi menungguku pulang.
Kumatikan televisi dan kulepas kacamata dari wajahmu. Pelan-pelan, 
kupastikan selimut flanel putih itu menyelimuti seluruh badanmu.
Ah, siapalah yang nanti bisa menggantikanmu dalam hidupku?
Mana ada, pikirku.
Bahkan jika nanti aku sudah berumah tangga — tak ada yang mampu menggesermu dari posisi nomor satu.
Komentar
Posting Komentar