A Little Trip



Untuk sebagian orang, Jogja merupakan salah satu kota terromantis yang ada di Pulau Jawa. Tapi tidak menurutku.
Jogja adalah satu-satunya kota yang aku kunjungi ketika aku merasa penat akan kehidupan di Jakarta. Penat dengan semuanya. Kemacetan yang ada, polusi udara hingga permasalahan cinta yang aku alami. Jogja menjadi akhir dalam tujuanku untuk melepaskan semuanya.
Ini pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di Jogja setelah dua tahun berlalu. Sudah dua tahun sejak kejadian itu; menangisi seorang lelaki secara konyol selama berminggu-minggu. Kali ini alasanku datang ke Jogja bukan karena aku telah menangisi lelaki secara konyol lainnya. Aku datang ke Jogja karena satu hal. Wisata kuliner malam di sini selalu berhasil menggodaku; dan itu hanya kebohonganku.
***
Jakarta, Kamis, Juli 2016, hari pertama, aku memutuskan untuk kembali ke kota istimewa ini. Masih sama seperti dua tahun lalu, sendiri. Aku selalu menyukai perjalanan tunggalku. Bukan karena aku tidak memiliki teman, kerabat atau seseorang yang bisa aku ajak pergi. Tetapi berwisata tunggal ke luar kota sendiri lebih mengasyikkan. Lebih banyak tempat yang bisa aku kunjungi tanpa harus memikirkan kemana teman jalanku ingin melanjutkan perjalanan.
Pukul 11 siang aku berangkat meninggalkan rumah menuju stasiun kereta api. Jalanan Jakarta tidak selenggang tiga hari lalu. Keretaku berangkat pukul 13.30. Suasana di stasiun juga masih ramai oleh pendatang. Aku memasuki kereta setelah berkas-berkasku diperiksa petugas di depan peron. Tak lama kereta yang aku tumpangi berjalan jauh meninggalkan stasiun.
Sepuluh jam aku duduk di dalam kereta. Membaca novel yang aku beli empat hari lalu. Kali ini tidak ada yang menungguku di stasiun seperti dua tahun lalu. Aku tidak meminta supir Pakdeku menjemputku, seperti dua tahun lalu Beliau menjemputku di Bandara Adi Sucipto.
Pukul 23.40 aku sampai di stasiun Yogyakarta. Aku langsung menuju penginapan yang aku pesan beberapa hari lalu melalui internet dengan menggunakan becak. Kendaraan tradisional favoritku yang masih ada hingga saat ini. Oh ya, kenapa aku tidak menginap di rumah buyutku seperti yang sebelumnya? Banyak alasannya. Diantaranya adalah aku hanya ingin bebas, kembali ke penginapan kapan pun semau aku. Itu bukan berarti aku tidak bisa bebas di rumah buyutku, aku tidak ingin membangunkan siapapun ketika aku sampai larut malam. Dan rumah buyutku terlalu dipedalaman, susah bagiku yang masih awam mencari kendaraan umum.
Seperti dua tahun lalu, tujuan pertama yang ingin aku kunjungi saat mentari bersinar adalah Candi Prambanan. Aku selalu terpesona dengan kemegahan Candi yang berusia ratusan tahun itu. Salah satu Candi favoritku yang wajib aku kunjungi ketika berada di Jogja.
***
Yogyakarta, Jum’at, Juli 2016. Hari kedua.
Pagi ini, usai solat subuh aku melakukan perjalanan kecil-kecilan disekitar penginapan. Membeli beberapa jenis makanan. Tidak ada yang istimewa, hanya sebungkus nasi uduk dan beberapa makanan tradisional. Lalu kembali ke hotel.
Pukul 8 pagi, perjalananku dimulai dari Candi Prambanan. Lapangan parkir Candi masih terlihat ramai oleh mobil pribadi dan bus-bus besar. Aku pun melihat dari kejauhan, banyak sekali turis dari luar kota dan mancanegara. Niatku menghabiskan pagi di Prambanan kuurungkan. Aku enggan berada dikeramaian saat hari besar seperti sekarang. Aku hanya berkeliling di luar area Prambanan. Mengambil beberapa gambar dari kejauhan.
Tujuan keduaku sebenarnya berada di luar Jogja. Dari tahun 2009, saat terakhir kali aku mudik bersama keluargaku di hari besar, aku melihat dipapan petunjuk arah. Ada tempat wisata tidak jauh dari rumah buyutku, di Klaten. Tau wisata air yang sedang booming di dunia maya, khususnya instagram? Atau kalian pernah mendengar Wisata Air Umbul Ponggok? YAP! Itulah tujuan keduaku! Seharusnya aku mengunjungi Umbul Ponggok besok, bersama dengan seorang lelaki yang kukenal dari dunia maya dua tahun lalu. Seseorang yang menemaniku dalam suka maupun duka selama hampir satu tahun terakhir. Seseorang yang usianya enam tahun lebih tua dibanding aku, mungkin lebih.
Beberapa hari sebelum Lebaran, lelaki itu menelponku, menanyakan apakah aku akan mudik atau tidak. Pertanyaan yang sama sejak dua tahun aku mengenalnya. Dan jawaban yang sama pula, “Aku tidak pulang tahun ini”. Malam sebelum aku memutuskan untuk ke Jogja, aku menelponnya. “Udah di Jakarta, Mas?”. Oh ya, lelaki itu bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta. “Belum. Aku masih di kampung, De”. Kesempatan emas untukku.
Setelah mengambil beberapa gambar, aku mengambil ponsel dan menekan beberapa digit angka. Tak lama terdengar suara dari ujung telepon, “Udah sampai?”. “Temani aku ke Umbul Ponggok sekarang, yuk”. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung memintanya menemaniku. “Aku tunggu di depan Prambanan ya, Mas. Aku tunggu 15 menit!”
Klik! Aku putuskan sambungan telepon dengannya tanpa harus menunggu jawaban darinya.
Aku kembali mengambil beberapa gambar sembari menunggu lelaki itu datang. Lelaki itu pernah bercerita kepadaku tentang rumahnya di kampung. Rumahnya tidak jauh dari rumah buyutku, hanya saja kami berbeda desa. Rumah buyutku dari Prambanan bisa ditempuh selama 10 menit menggunakan kendaraan. Jadi tidak salah jika aku memintanya menjemputku dalam waktu 15 menit, bukan? Kalian mungkin berpikir jika aku jahat dan tidak tau diri. Dan benar saja, lelaki itu tiba dalam waktu yang telah aku tentukan. 15 menit.
Setelah melakukan protes besar, lelaki itu mengantarku menuju Umbul Ponggok dengan motor ninja kesayangannya. Tempat wisata ini masih ramai oleh pengunjung. Wajar saja. Tempat wisata ini sangat indah. Berkeliling, mencari tempat yang tidak begitu ramai pengunjung untuk kami istirahat dan meletekkan barang kami sebelum bermain air.
Matahari sudah pada pusatnya, berdiam tepat diatas kepala kami. Aku tidak tahan berendam ketika matahari sudah tinggi seperti sekarang. Istirahat sebentar, makan siang sembari aku bercerita banyak tentang apapun; salah banyaknya tentang kamu. Begitu pun dengan lelaki itu, Ia bercerita banyak mengenai dunianya; keluarga, pekerjaan, dan tentu saja dengan kekasihnya.
Tanpa terasa, jam ditangan kiri lelaki itu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Saatnya aku berpisah dengan lelaki itu. “Kamu ga mau Mas antar ke penginapan?”. Tanyanya memastikan, apakah aku yakin jika aku kembali ke penginapan seorang diri. “Kalo Mas antar aku ke rumah buyutku, gimana?”. “Oke”, jawabnya singkat.
Umbul Ponggok menuju rumah buyutku ditempuh selama 25 menit. Waktu yang lebih lama dibanding menuju Prambanan. Selama perjalanan menuju rumah buyutku, kami tidak banyak bicara. Lelaki itu tau bahwa aku tidak terlalu suka berbicara ketika di motor.
Usai maghrib, aku berpamitan dengan adik nenekku. Suaminya mengantarku hingga ke pinggir kota. Jujur saja, sebenarnya aku tidak begitu tau tentang angkutan umum apa yang harus aku gunakan untuk kembali ke penginapanku yang berada di dekat stasiun kereta Yogyakarta. Becak pun sudah tidak beroperasi di pinggir kota saat maghrib. Satu-satunya yang bisa aku gunakan hanyalah angkutan umum atau haruskah aku menelepon lelaki itu lagi? TIDAK Indah!
 Susah payah aku mencari angkutan umum yang tepat. Tiga kali salah menaiki angkutan umum. Yang seharusnya hanya ditempuh selama satu jam, aku habiskan tiga jam setengah Klaten menuju penginapanku. Tidak masalah, aku hanya lelah.
***
Yogyakarta, Sabtu, Juli 2016. Hari ketiga.
Hari ini aku tidak berniat meninggalkan penginapan. Aku lelah sekali. Aku mengantuk. Semalaman aku tidak bisa tertidur. Bermain dengan laptop. Membalas chat yang masuk di line dan skype. Tidak semuanya aku balas, termasuk chat dari kamu tidak aku balas. Dan menerima beberapa panggilan video dari beberapa teman dan lelaki itu.
Pagi ini kuputuskan untuk kembali ke Jakarta lebih awal dari jadwalku seharusnya; besok. Alasanku pulang lebih awal adalah agar aku bisa menemuimu. Sama seperti alasan aku mengunjungi kota ini. Aku ingin sebentar menghindarimu. Namun sepertinya aku tidak bisa. Kamu adalah rumah bagiku. Kamu alasanku pergi dan kembali. Dengan menggunakan becak, aku menuju Bandara Adi Sucipto. Dua jam setengah Jogja menuju rumahku. Dan sesampainya aku di rumah, aku langsung mengirimi pesan untukmu via Whats App, "Sibuk tah? Main kuy". Aku tak tau balasanmu atas pesanku apa. Siangnya aku berkeliling Condet, dan aku melihatmu sedang berbincang dengan temanmu di depan tempatmu biasa menghabiskan waktumu. Dan aku sangat senang bisa melihatmu lagi.

Komentar