Hai.
Bagaimana kabarmu?
Aku selalu berharap kau sedang dalam keadaan baik tak kurang suatu
apapun. Karena baiknya dirimu adalah kabar yang akan membuat aku menjadi
baik pula.
Semenjak kau tak mau membalas pesanku, aku memilih untuk berdiam
diri. Meski pada akhirnya aku tak mampu dan memutuskan mengirim pesan
lagi, dan lagi. Entah sudah berapa lama, kita tak lagi berbagi cerita.
Padahal aku mengirim pesan kepadamu dengan maksud hanya ingin mendengar
kabar tentangmu. Mendengar cerita-ceritamu. Apakah telah ada yang mampu
menarik perhatianmu atau jangan-jangan, diam-diam kau telah berdua. Aku
tak pernah tahu sebab aku hanya bisa menerka-nerka melalui
tulisan-tulisan yang kau bagikan. Mau bagaimana lagi, kau enggan membagi
ceritamu kepadaku.
Sebenarnya aku ingin bercerita panjang lebar kepadamu tentang
keadaanku dan apa yang terjadi setelah kau tiba-tiba pergi begitu saja
meninggalkanku. Aku ingin bercerita bagaimana aku menyembuhkan sakit
yang tak pernah kau sadari keberadaannya. Mudah memang mengatakan bahwa
dengan sendirinya, sebuah luka akan terobati. Tapi itu butuh waktu, yang
aku yakin tak sebentar. Satu-satunya obat yang mampu menyembuhkan luka
ini dengan cepat adalah kembalinya dirimu, tentu dengan perasaan dan
kasih sayang yang sama dengan sebelum kau memutuskan untuk
meninggalkanku. Tapi ya itu sebuah ketidakmungkinan. Aku menyadari
betul-betul hal itu.
Daripada aku memendam cerita-cerita ini, lebih baik kutuliskan saja.
Mungkin saja kau sudi membuang waktu untuk membacanya. Berpuluh-puluh
pesanku juga selalu kau abaikan bukan? Biarkanlah aku mulai bercerita.
Sepeninggalmu, aku begitu sulit berjalan kembali. Jangankan berjalan,
bangkit dan berdiri saja membutuhkan waktu tak sebentar. Sebenarnya
kepergianmu sudah kuduga. Tapi, wanita mana yang berharap ditinggalkan
oleh lelaki yang amat ia sayang meski ia mengetahui gejala-gejala itu?
Aku selalu mencoba berpikiran baik. Bahwa segala perubahan yang terjadi
padamu adalah proses yang akan menjadikan hubungan kita, kala itu,
menjadi lebih kuat. Setidaknya pikiran baikku menunjukkan titik terang
pada pertemuan terakhir kita. Hal-hal kecil yang kau lakukan kembali
meski aku tahu itu tak datang tulus dari hatimu.
Tapi sungguh, ajaranmu untuk selalu berpikir baik pada akhirnya
menghancurkanku. Kau pergi begitu saja. Dengan alasan yang tak pernah
kuterima. Alasanmu terlalu normatif. Aku tahu, semua pria selalu ingin
mengejar apa yang dicita-citakan. Dan aku rasa itu bukan alasan yang
baik ketika untuk digunakan meninggalkan wanitanya. Aku bahkan telah
mencoba belajar menjadi orang yang paling mendukungmu. Apa lacur, masa
belajarku nampaknya terlambat. Hatimu sudah beku. Yang ada dalam
pikiranmu sepertinya aku akan menjadi batu sandungan untuk semua
cita-citamu. Sekeras apapun aku mencoba menjadi bagian perjalananmu.
Aku menjalani masa-masa tersulit dalam kehidupan yang pernah kujalani
selepas kau memutuskan pergi. Kepergianmu seperti banjir yang datang
ditengah malam ketika aku sedang bermimpi indah-indahnya. Aku belum siap
dengan sesuatu apapun, kemudian hanyut bersama air bah lalu kehilangan
segala harta dan semangat hidup. Kau tahu? Impian dan semangatku sudah
kutitipkan kepadamu, dan kau tak meninggalkannya ketika pergi.
Aku menjadi tak tahu harus kemana. Aku berjalan kemanapun langkah
kaki menginginkan. Perjalanan-perjalanan yang dulu kutempuh bersamamu,
kini aku melakukannya sendiri. Untuk hal ini, aku berterimakasih
kepadamu telah mengajarkanku bagaimana mencapai sebuah tujuan, dengan
atau tanpa orang lain. Sesungguhnya dari sekian banyak pesan yang aku
kirimkan, aku ingin pamer keberanianku padamu.
Setelah perjalanan, yang ternyata tak juga menyembuhkanku dari luka
yang kau tinggalkan, aku mencoba melakukan apa-apa yang dulu tak kau
perbolehkan. Barangkali dengan itu dapat meluapkan segala kekesalanku
atas kepergianmu. Aku mulai sering minum kopi. Minuman yang kau suka dan
tak kauijinkan untuk kuminum. Sebab engkau tahu, setiap kali aku minum
kopi, perutku dilanda mual dan mulas tanpa permisi. Tapi kini aku telah
mahfum bagaimana cara-cara agar kopi tak membuatku mual dan mulas.
Setelah kau pergi, kopi menjadi teman setiaku. Ia mengajarkanku bahwa
pahit kenangan tak baik dilepas lekas-lekas. Sebaiknya ia dinikmati
pelan-pelan, seperti kopi.
Sepertinya aku juga mulai menyenangi hiking, sepertimu. Mengapa dulu
kau tak mengajarkanku kesenangan ini? Dulu, aku tak pernah begitu suka hiking. Membagi cerita kepadamu aku rasa sudah lebih dari cukup. Kau
adalah tempat bercerita paling nyaman. Sampai kemudian kau berpaling,
aku tak memiliki tempat lagi untuk berkeluh kesah dan menumpahkan segala
apa yang membuat gusar pikiranku. Benar katamu, hiking adalah cara
terbaik menumpahkan segala apa yang dirasa. Ketika tak ada sesiapa lagi
yang mau mendengarkan cerita-ceritamu.
Hingga aku menulis surat ini, aku masih belum bisa berjalan dengan
baik. Sungguh tertatih-tatih langkahku. Kau mungkin sudah berlari begitu
kencang. Mengejar segala yang kau cita-citakan. Memburu wanita yang mau
menemanimu dengan segala pengertian dan kerendahan hatinya. Sungguh
beruntung wanita yang mendampingimu kelak. Ia akan mendapatkan
kesabaranmu, kasih sayangmu, kesederhanaanmu, dan segala perilaku baik
yang membuatku hingga kini masih menyayangimu. Betapa beruntungnya ia
akan menemani perjalananmu. Berbagi cerita bersamamu tentang
burung-burung, langit-langit, awan-awan, laut-laut, dan segala kias-kias
perjalanan yang dulu pernah kau bagi bersamaku. Melakukan perjalanan
denganmu adalah waktu terbaik yang pernah kulakukan.
Wanitamu pasti akan menyukai gunung sepertimu. Kalian akan
bersama-sama berlarian diatas pasir atau ketinggian. Mengabadikan
kebersamaan dalam gambar. Lalu menunjuk, mana awan yang kalian
imajinasikan. Bukankan itu pula yang kau ajarkan kepadaku? Ketika itu,
aku menjadi wanita yang paling bahagia.
Wanitamu pasti akan menyenangi musik yang sama denganmu. Hal yang tak
pernah bisa kulakukan, sepertinya. Kalian akan bernyanyi bersama saat
menonton pertunjukan. Tak lupa untuk saling memandang dan bergandeng
tangan. Betapa beruntungnya ia mendapatkan kesempatan itu. Sebelum kau
meninggalkanku, aku telah berusaha keras untuk menyenangi musik
kegemaranmu. Aku berharap suatu hari dapat menonton pertunjukan musik
bersamamu. Tapi apa daya, kau lebih dulu pergi sebelum mengajakku turut
serta bernyanyi di depan grup musik favoritmu.
Jadi, kau sudah memiliki wanita yang menggantikan posisiku?
Tentu saja. Tapi kau pasti takkan mau bercerita. Aku sudah mengetahui dengan
sendirinya saat kau membagi kisah kalian ke dalam tulisan atau gambar
yang kau abadikan. Semoga wanitamu kelak mampu mengerti keadaanmu.
Memahami segala baik-burukmu. Dan segala apa yang gagal kulakukan untuk
mempertahankanmu. Dia pasti wanita yang sangat beruntung.
Sekian dulu ceritaku. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku
ceritakan. Tentang perjalanan-perjalanan yang kulakukan sendiri. Tentang
kebiasaan baruku selepas kau pergi. Juga cerita-cerita lain tentang
usahaku untuk berjalan lagi. Lain waktu mungkin akan kuceritakan lagi.
Jika kamu masih ingin membacanya.
Sampaikan salamku kepada wanitamu.
Semoga kau selalu dalam keadaan baik-baik saja.
Salam, aku selalu merindukanmu.
Komentar
Posting Komentar