Aku kembali mencintai hujan.
Terima kasih padamu, Tuan yang
membuatku membenci hujan. Aku kembali tersadar. Kemarin. Saat hujan
menghakimiku. Saat hujan membuatku tak sanggup bangkit dari ranjangku. Hujan
menyadarkanku, menyadarkanku jika aku tak layak membenci hujan. Siapa aku,
berani sekali membenci hujan? Apa aku Sang Pencipta hujan? Apa aku yang dapat
membuat hujan turun dan memberi kenikmatan di bumi ini? Tentu saja bukan! Aku
bukanlah siapa-siapa. Aku bahkan tak pantas membenci hujan yang sudah memberikan
kenikmatan yang tak terkira nilainya. Aku sungguh berdosa jika aku membenci
hujan terlalu larut.
Kemarin. Beberapa hari yang lalu,
hujan menghakimiku di depan banyak orang. Anehnya aku merasa sangat bahagia.
Tak ada rasa malu dihakimi hujan di depan banyak mata memandangku. Aku sadar.
Hujan menyadarkanku. Bukan hujanlah yang seharusnya aku benci. Bukan awan yang
menitihkan airnya yang seharusnya aku benci. Tapi rasa benciku pada hujan yang
harus aku benci.
Pantas, sangat pantas hujan
membuatku sampai tak dapat beranjak dari ranjangku. Pantas, sangat pantas hujan
membuatku tak dapat merasakan rasa manis dan asin di lidahku. Pantas, sangat
pantas hujan menyuruh seorang dokter untuk menyuntikkan jarum suntik dan
mengambil beberapa mili darahku. Dan menancapkan infus di pergelangan tanganku.
Ya, itu semua pantas aku terima karena sudah membenci hujan.
Sakit. Itulah yang kurasakan
beberapa hari lalu. Hanya dapat terbaring di atas ranjang. Tidak dapat
menikmati lezatnya ice cream, makanan
favoritku. Bahkan sampai tidak selera makan. Mengkonsumsi obat-obatan agar aku
kembali pulih. Agar dapat kembali mencintai hujan.
Bohong. Kamu pasti berpikir jika
aku berbohong, bukan? Berbohong jika hujan telah menghakimiku hingga aku tak
dapat bangkit dari ranjangku. Berbohong jika aku tengah merasakan yang namanya
“sakit”? Aku memang sedang merasakan yang namanya “sakit”. Tapi tenanglah
kamu–aku sendiri tidak tau siapa yang kumaksud dengan kamu-, bukan perasaanku
yang sakit. Dan kini aku sudah mulai membaik. Karena seseorang yang kusayangi
telah menjengukku. Memberiku semangat agar cepat sembuh dan agar infus yang
terpasang di pergelangan tanganku segera dilepas.
@@@
Berhari-hari di rumah sakit.
Akhirnya aku kembali, setelah beberapa tahun, kembali kepada dokter yang dulu merawatku
di rumah sakit ini. Dengan kasus yang sama. “Apa kabar Dokter? Makin tampan
saja rupamu, Dok. Apakah itu anakmu, yang berdiri di sana?”, tanyaku padanya
ketika ia baru saja memulai memeriksa keadaanku hari ini. “Hahaha bisa saja
kamu, Nak. Aku sebagai dokter di sini harus selalu sehat, bukan? Jika aku sakit
siapa yang akan merawatmu? Ya, dia anakku, teman sepermainanmu dulu.” “Teman
apa, Dok? Sejak kapan?” “Ya, saat kalian masih kecil dulu. Masa kamu tidak
ingat? Dia yang selalu menemanimu bermain ketika kamu masuk rumah sakit ini.”
Dokter menceritakan, mengingatkan aku pada anaknya yang dulu adalah teman
sepermainanku di rumah sakit ini.
“Kenapa kamu balik lagi ke rumah
sakit ini? Kenapa tidak di Jakarta? Bukannya di Jakarta banyak rumah sakit yang
layak?” Tanya Dokter Tama tiba-tiba.
“Aku rindu rumah sakit ini, Dok.”
Jawaban bodoh keluar begitu saja dari mulutku.
Dokter tertawa mendengar
jawabanku. Begitu juga anaknya, yang kini berdiri di samping Ayahnya, Dokter
Tama.
“Kamu kenapa, Nur?” Tanya lelaki
itu.
“Kamu tau namaku?”
“Tentu saja tau, bukankah tadi
sudah dijelaskan jika aku ini adalah teman sepermainanmu dulu di sini?”
Aku memicingkan mataku, alisku
bertemu seakan-akan menyatu. Aku tak ingat siapa lelaki itu.
“Kamu dihakimi oleh hujan lagi?”
Kata-kata itu. Dulu aku pernah
berkata seperti itu. Ketika aku masuk rumah sakit ini untuk yang kesekian
kalinya.
“Kamu?” Kataku coba
mengingat-ingat dirinya.
“Kamu.. Andre?”
“Hahahahha..” Lelaki itu hanya
tertawa.
“Benar kamu Andre yang selalu
memaksaku untuk makan ketika aku tidak ingin makan, kamu yang dulu sangat
menyebalkan itu?” Kataku mengingat kejadian tujuh belas tahun silam.
“Hahahaha..” Lagi lagi hanya tawa
yang ia keluarkan. Tak ada kata sedikitpun keluar dari mulutnya. Sampai Dokter
Tama selesai memeriksaku.
Dokter Tama berbincang dengan
kedua orang tuaku, dan lelaki itu mengikuti kemana Ayahnya beranjak.
“Sampai jumpa lagi, Nur..”
Aku masih tidak percaya. Masih
mencoba mengingat-ingat siapa lelaki itu. Namun pupus. Aku sama sekali tidak
mengingatnya. Dan jika benar itu Andre, anak yang sangat menyebalkan namun
dapat menarik perhatianku yang pada saat itu notabennya masih anak umur empat
tahun, mengapa ia tidak memberitahuku? Sudah
Nur, jangan pedulikan dia. Pedulikan saja dirimu agar cepat keluar dari rumah
sakit ini.
@@@
Hari ini, setelah satu minggu lebih
aku menginap di salah satu rumah sakit terbesar di Bekasi, akhirnya aku kembali
ke rumah.
WELCOME HOME, Nur..
Rasanya seperti sudah berapa
puluh tahun aku tidak berada di rumahku. Rindu sekali. Rindu Rabbu, rindu
Kemal, rindu Bepink, dan tentu saja rindu kameraku.. Ingin cepat-cepat aku
mengajak Uda hunting tempat yang
bagus untuk pemotretan. Ah, aku lupa. Aku masih harus banyak beristirahat. Aku
baru pulih dan baru saja sampai di rumah. Ibu dan Uda pasti tidak akan
mengizinkan aku bangkit dari ranjangku, di rumah.
Baru dua hari aku di rumah, rasa
bosan menggerayangiku. Aku ambil ponselku, menekan beberapa digit angka. Nada
tunggu terdengar.
“Kenapa, Nge?”
“Hunting, yuk, Da”
“Gilaaa.. baru juga keluar lo dari rumah sakit. Mau liat gue di gorok
sama bokap lo?” Terdengar suara berteriak dari seberang sana.
“Ayo lah, Da. Gue bosen di rumah
mulu. Yang deket ajalah. Kita jalan pake mobil lo.” Bujukku.
“Mobil siapa?” Tanya Uda heran.
“Okey, kita pake mobil Ayah. Gue
yang nyetir, gimana?”
“Lo gila, Nur! Gue ga mau, lo
istirahat aja dulu. Kalo udah sehat bener, kita..”
Flip..
Belum selesai Uda berbicara, aku
sudah mematikan telponnya.
Kulihat di luar sana, ada
seseorang berdiri di depan pagar rumahku. Aku segera memanggil Ayahku,
“Yahhh..
ada orang di luar”
Ayah segera keluar, membukakan
pagar dan menyuruh orang itu duduk di dalam rumahku.
“Bu, siapin air buat Andre nih,
anaknya Dokter Tama datang..”
“Ahh, ga usah repot, Om. Saya
Cuma sebentar, mau nengok Nurnya aja kok..”
Gue? Dia siapa sih? Tunggu! Dokter Tama? Jadi benar dia itu Andre yang
nyebelin itu?
Aku keluar dari kamarku. Dan
benar saja lelaki itu yang datang.
“Udah sehat, Nur?”
Ahh, nada itu. Aku benci di panggil seperti itu.
“Udah mendingan..” Jawabku ketus.
Ayah bangkit dari duduknya,
meninggalkan aku dan lelaki itu berdua. Tidak biasanya Ayah membiarkanku dengan
seorang lelaki berdua saja.
Kami mengobrol sebentar. Aku
bertanya padanya tentang dirinya. Aku bertanya padanya tentang bagaimana “kami”
bisa saling mengenal dan aku bisa melupakannya begitu saja?
Lelaki itu menceritakan semua
yang kuinginkan. Semua pertanyaan dalam benakku sudah terjawab. Lelaki itu izin
pulang. Aku mengantar lelaki itu sampai depan pintu mobilnya. Hujanpun turun
dengan derasnya. Dan aku mulai menyukai hujan kembali, seperti sebelumnya. Tau
mengapa? Karena ada dia, Andre, lelakiku kini. Dan dia yang membuatku mencintai
hujan kembali. Tau kapan kami jadian? Itu terjadi hanya sekejap. Hari itu, di
rumah sakit, sebelum aku kembali ke rumah. Kami mengikat tali yang bernama
“pacaran”.
Terima kasih Andre, kamu telah kembalikan aku untuk mencintai hujan, seperti sebelumnya..
Komentar
Posting Komentar